Rainbow Pinwheel Pointer

Rabu, 08 April 2015

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

A. Sistem Pemerintahan Indonesia Sejak Kemerdekaan

          Perjalanan sejarah sistem politik dan penegakan hukum Indonesia selama 62 tahun menunjukkan suatu bukti bahwa semata-mata konstitusi dalam wujud UUD tidak dapat dijadikan  pegangan dalam kehidupan sistem politik yang demokratis maupun penegakan hukum.
              UUD 1945 telah berlaku di empat periode kepemerintahan, masa Kemerdekaan (1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), masa Orde Baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998-Sekarang). Semuanya ternyata menunjukkan corak dan karakter kepemerintahan yang  berbeda satu periode dengan periode lainnya.
            Di masa kemerdekaan, meski berlaku tiga macam UUD (1945, RIS dan 1950) namun kehidupan sistem demokrasi dapat berjalan dan hukum dapat ditegakkan. Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali berlaku dan dinyatakan penggunaan sistem Demokrasi Terpimpin, namun yang berlaku sistem otoritarian (Hatta, Demokrasi Kita, 1960). Buktinya, terjadi pembubaran partai politik yang tidak sejalan dengan keinginan pemerintah (yaitu, Masyumi dan PSI), media massa yang kritis dibredel, penangkapan dan penawanan lawan politik  pemerintah tanpa proses hukum termasuk para pendiri partai mantan-mantan Perdana Menteri, mantan-mantan menteri, pemimpin ormas juga ulama. Sehingga hukum didominasi penguasa tunggal di masa itu.
          Masa itu kemudian beralih kepada masa pemerintahan Orde Baru tahun 1966. Awal  permulaan masa ini membawa dan menumbuhkan harapan baru sistem demokrasi dan penegakan hukum setelah rakyat bersama mahasiswa dan pelajar secara bergelombang turun ke jalan menentang kesewenang-wenagan PKI. Rakyat dan pemerintah bekerjasama menjalankan pemerintahan yang demokratis dan menegakan hukum dengan semboyan “kembali ke UUD 1945 dengan murni dan konsekuen”.
              Suasana harmonis itu ternyata tidak berlangsung lama. Sejak dikeluarkannya UU No. 15 dan 16 Tahun 1969, tentang Pemilu dan tentang Susunan dan Kedudukan Lembaga Negara. Dari sini mulai nampak keinginan politik elit penguasa untuk menghimpun kekuatan dan meraih kemenganan mutlak pada pemilu yang sedianya akan diselenggarakan pada tahun 1970 ternyata  baru dapat dilaksanakan tahun 1971, karena usaha penggalangan kekuatan lewat Golongan Karya (GOLKAR) memerlukan waktu cukup lama. Contoh, tahun 1970 pemerintah mencoba menggalang kekuatan mahasiswa dengan mengadakan Kongres Mahasiswa se-Indonesia di Bogor. Semula Departemen Dalam Negeri menghendaki terbentuknya satu wadah mahasiswa Indonesia dengan nama NUS (National Union Student) namun mayoritas mahasiswa tetap menghendaki pemerintahan mahasiswa (Student Government) dalam wadah Dewan Mahasiswa di masing-masing perguruan tinggi.

1. Pasca-Kemerdekaan
             Pada 18 Agustus 1945, PPKI membentuk sebuah pemerintahan sementara dengan Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden. Piagam Jakarta yang memasukkan kata “Islam” di dalam sila pertama Pancasila, dihilangkan dari mukadimah konstitusi yang baru. Republik Indonesia yang baru lahir ini terdiri 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Pada 22 Agustus 1945, Jepang mengumumkan mereka menyerah di depan umum di Jakarta. Jepang melucuti senjata mereka dan membubarkan PETA Dan Heiho. Banyak anggota kelompok ini yang belum mendengar tentang kemerdekaan.
             Pada 23 Agustus 1945 Soekarno mengirimkan pesan radio pertama ke seluruh negeri. Badan Keamanan Rakyat, angkatan bersenjata Indonesia yang pertama mulai dibentuk dari bekas anggota PETA dan Heiho. Beberapa hari sebelumnya, beberapa batalion PETA telah diberitahu untuk membubarkan diri. Pada 29 Agustus 1945 Rancangan konstitusi bentukan PPKI yang telah diumumkan pada 18 Agustus 1945, ditetapkan sebagai UUD 45. Soekarno dan Hatta secara resmi diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden. PPKI kemudian berubah nama menjadi KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). KNIP ini adalah lembaga sementara yang bertugas sampai pemilu dilaksanakan. Pemerintahan Republik Indonesia yang baru, Kabinet Presidensial, mulai bertugas pada 31 Agustus.

2. Sistem Pemerintahan Tahun 1950-1959 (Pemerintahan Parlemen)
       Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidentil menjadi  parlemen. Dimana dalam sistem pemerintahan presidentil, presien memiki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif. Era 1950-1959 ialah era dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.            Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar- besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara  bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
            Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Dewan Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil  pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945. Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante. Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini:
* 1950-1951–Kabinet Natsir                                                                                                   
* 1951-1952–Kabinet Sukiman-Suwirjo
* 1952-1953–Kabinet Wilopo
* 1953-1955–Kabinet Ali Sastroamidjojo I
* 1955-1956–Kabinet Burhanuddin Harahap
* 1956-1957–Kabinet Ali Sastroamidjojo II
* 1957-1959–Kabinet Djuanda
            Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Isi dari Dekrit Presiden tersebut ialah:
1. Pembentukan MPRS dan DPAS
2. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
3. Pembubaran Konstituante

3. Sistem Pemerintahan Tahun 1959-1968 (Demokrasi Terpimpin)
                Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah Dekrit Presiden. Soekarno  juga membubarkan Dewan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan “Kembali ke UUD’ 45″. Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang dinamakan NASAKOM.
              Antara tahun 1959 dan tahun 1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk  bantuan militer untuk jendral-jendral militer Indonesia. Menurut laporan di “Suara Pemuda Indonesia”: Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat telah melengkapi 43 batalyon angkatan bersenjata. Tiap tahun AS melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959, lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja, bukan untuk mendukung Sukarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan militer untuk membuat Indonesia sebuah “negara  bebas”. Di tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh Indonesia mendapat dukungan  penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan  penduduk adat.
                Era “Demokrasi Terpimpin”, yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

4. Sistem Pemerintahan Tahun 1968-1998 (Orde Baru)
              Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
            Pada 27 Maret 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB, dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima  pertama kalinya.
          Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat “dibuang” ke Pulau Buru. Sanksi non-kriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
         Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
             Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi  politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan  pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga  pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
           Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
            Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan “persatuan dan kesatuan bangsa”. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

5. Sistem Pemerintahan Tahun 1998-Sekarang (Reformasi)
            Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.
          Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum  berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”. Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

6. Sistem Pemerintahan Jokowi-JK (sekarang)
         Banyak yang mengeluarkan pro dan kontra terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang baru dilantik pada 20 Oktober 2014 lalu. Seperti kita ketahui pasangan Jokowi-JK adalah pasangan presiden terpilih yang didukung oleh koalisi PDIP, PKB, Hanura, Nasdem, dan PKPI. Dukungan koalisi partai pengusung Jokowi tersebut hanya berjumlah 37 persen atau sekitar 207 kursi di DPR. Sedangkan koalisi Merah Putrih (KMP) berjumlah lebih dari 50 persen atau sekitar 292 kursi parlemen. Koalisi Merah Putih sudah mengikatkan diri dalam koalisi permanen yang akan menjadi penyeimbang jalannya pemerintahan Jokowi.
            Reformasi yang membuka kran demokratisasi telah memberi kebebasan dalam  berserikat dan berkumpul, semangat inilah yang melahirkan keberadaan multi partai di Indonesia. Proses demokratisasi telah meniscayakan dilakukannya amandemen UUD 1945 yang banyak merombak tata politik dan pemerintahan Indonesia. Salah satu yang  berubah adalah lahirnya sistem Pemilihan Presiden secara langsung.
        Eksperimen sistem presidensial di era multipartai seperti sekarang sebenarnya mengandung resiko yang besar. Pengalaman mengatakan bahwa bagaimana susahnya mengelola ritme pemerintahan SBY-JK tahun 2004-2009. Ketika itu SBY-JK pemenang pemilu tetapi dukungan suara diparlemen sangat kecil. Hubungan pemerintahan dan DPR acapkali diwarnai dengan “demam politik” yang tidak berkesudahan. Dan pada saat Jokowi-Jk sekarang pun, ini terulang kembali. Namun, siapapun presiden Indonesia pada akhirnya, dialah yang akan memimpin dan membawa Indonesia kea rah yang lebih baik kedepannya. Menurut beberapa fakta, seperti yang dikatakan oleh Ketua Partai Nasdem, Surya Paloh, “Sistem pemerintahan presidensial dapat dijalani dengan sempurna apabila dijalankan oleh Jokowi.”
             Sistem pemerintahan Presidensial yang dijalani oleh Jokowi-JK ini sudah membuat  beberapa kebijakan baru untuk kemajuan bangsa, katanya. Hal-hal itu ialah sebagai  berikut:
a. Melakukan program realisasi swasembada gula dan beras, yang bertujuan untuk memajukan kehidupan rakyat di desa. 
b. Akan menghentikan sementara (monotarium) penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) selama lima tahun. yang artinya selama pemerintahan Jokowi-JK tidak adanya  penerimaan CPNS.
c. Adanya bagi-bagi kursi dalam kementrian cabinet Jokowi-JK.
d. Harga BBM akan dinaikkan, terlebih lagi, pihak PDIP, partai yang berperan dibelakang Jokowi meminta SBY untuk menaikkan harga BBM bersubsid. Dan lagi, Jokowi pun ikut menghadap ke SBY langsung untuk meminta kenaikan BBM ini.
e. Akan dijualnya pesawat kepresidenan berdasarkan ingin menyelamtkan perekonomian  Negara. Yang sebenarnya pesawat itu baru saja dibeli oleh Negara. Hal ini jadi mengingatkan rakyat tentang track record yang dilakukan oleh Megawati dalam menjual  beberapa asset penting milik Negara ke tangan asing.


KESIMPULAN :
Sistem Pemerintahan Indonesia :
1. Pasca-Kemerdekaan 18 Agustus 1945
2. Sistem Pemerintahan Tahun 1950-1959 (Pemerintahan Parlemen)
3. Sistem Pemerintahan Tahun 1959-1968 (Demokrasi Terpimpin)
4. Sistem Pemerintahan Tahun 1968-1998 (Orde Baru)
5. Sistem Pemerintahan Tahun 1998-Sekarang (Reformasi)
6. Sistem Pemerintahan Jokowi-JK (sekarang)

Sistem Pemerintahan Indonesia menggambarkan adanya lembaga-lembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga negara dalam suatu sistem politik meliputi empat institusi pokok, yaitu eksekutif, birokratif, legislatif, dan yudikatif. Setiap sistem pemerintahan memiliki kelebihan dan kelemahan yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar