A.
Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh)
adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pajak penghasilan sesuai
dengan pasal 1 Undang Undang pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan
terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun pajak. Oleh
karena itu Pajak Penghasilan melekat pada subyeknya. Pajak Penghasilan termasuk
salah satu jenis pajak subjektif. Subyek pajak akan dikenai pajak apabila dia
menerima atau memperoleh penghasilan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan,
subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut sebagai Wajib
Pajak. Demikian pula atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, terutang
Pajak Penghasilan dan dalam hal ini yang bersifat final.
Di Indonesia, penghitungan
mengenai akuntansi pajak penghasilan diatur dalam PSAK No. 46 yang berlaku
sejak tanggal 1 Januari 1999 untuk perusahaan yang menerbitkan surat-surat
berharga yang diperdagangkan kepada publik dan
bagi perusahaan lainnya dimulai pada atau setelah 1 Januari 2001, PSAK
No.46 ini bertujuan mengatur perlakuan akuntansi pajak penghasilan melalui
pengakuan, pengukurang/penilaian, penyajian pengungkapan pajak penghasilan dan
pengaruhnya, yaitu Kewajiban Pajak Tangguhan (Deffered Tax Liabilities/ DTL)
dan atau Aset Pajak Tangguhan (Deferrred Tax Asset/DTA) dalam laporan keuangan
perusahaan. Pengakuan atas DTL atau DTA muncul akibat adanya perbedaan temporer
antara UU Perpajakan dengan SAK (Standar Akuntansi Keuangan).
B.
Perbedaan permanen dan Perbedaan Temporer (Sementara)
dalam Pajak
1. Perbedaan Permanen
Perbedaan
permanen adalah perbedaan pengakuan pajak yang timbul karena terjadi
transaksi-transaksi pendapatan dan biaya yang diakui menurut akuntansi
komersial dan tidak diakui menurut fiskal (pajak). Dimana pengakuan seperti hal
tersebut biasanya terdapat pada kategori dibawah ini, yaitu:
Menurut
akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangkan menurut ketentuan PPh bukan
penghasilan. Misalnya dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai
wajib pajak dalam negeri dari penyertaan modal sebesar 25% atau lebih pada
badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia. (Pasal 4 ayat 3 UU
PPh).
Menurut
akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut ketentuan PPh
telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini dikenakan pajak
tersendiri (final) sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung) dengan
penghasilan lainnya dalam menghitung PPh yang terutang. Misalnya :
a) Penghasilan dari transaksi penjualan saham di
bursa efek
b) Penghasilan dari hadiah undian
c) Penghasilan bunga tabungan, deposito, jasa
giro dan diskonto BI
d) Penghasilan bunga/diskonto obligasi yang dijual
di bursa efek
e) Penghasilan atas persewaan tanah dan bangunan
f) Penghasilan dari jasa konstruksi (Pengusaha
Konstruksi Kecil)
g) Penghasilan WP perusahaan pelayaran dalam
negeri
2. Perbedaan Temporer atau Beda Sementara
Beda
sementara adalah perbedaan yang terjadi secara fiskal karena perbedaan
pengakuan waktu dan biaya dalam menghitung laba. Adapun unsur-unsur yang
menjadi objek dalam beda sementara adalah :
a) Metode Penyusutan dan atau Amortisasi
b) Metode penilaian persediaan
c) Penyisihan piutang tak tertagih
d) Rugi-laba selisih kurs
e) Kompensasi kerugian
f) Penyisihan bonus
C.
Alokasi Pajak Penghasilan
A.
Prinsip-Prinsip Alokasi Pajak
Pada
dasarnya Alokasi Pajak Penghasilan bagi perusahaan sebagai wajib pajak bias
mencakup 2 hal, yaitu:
a.
Interperiod
Tax Allocation
Interperiod tax
allocation nampaknya lebih berkepentingan dengan alokasi selisih pajak teoritis
dan utang pajak (SKP) sehubungan dengan perbedaan waktu (timing
difference). Interperiod tax allocation
merupakan proses alokasi pajak penghasilan antar periode tahun buku yang satu
dengan periode-periode tahun buku berikut atau sesudahnya. Alokasi pajak
penghasilan antar periode tahun buku ini diperlukan karena adanya perbedaan
terhadap jumlah laba kena pajak dan laba akuntansi.
b.
Intraperiod
Tax Allocation
Intraperiod tax
allocation (alokasi beban pajak pada tahun yang sama) nampaknya merupakan salah
satu pendekatan pengungkapan (disclosure) dan pelaporan suatu segmen
penghasilan setelah dikurangi pajak penghasilannya sehingga nampak berapa
penghasilan setelah pajaknya.
Intraperiod Tax Allocation merupakan proses alokasi pajak penghasilan
dalam suatu periode akuntansi karena adanya perbedaan tarif pajak yang
dikenakan terhadap tiap-tiap komponen laba atau pendapatan (Misalnya, tarif
pajak untuk laba sebelum pos luar biasa berbeda dengan tarif pajak untuk laba
atau rugi luar biasa).
Karena Undang-Undang
Perpajakan di Indonesia tidak mengenal diskriminasi tarif yang diberlakukan
terhadap tiap-tiap komponen laba atau pendapatan, maka masalah Intraperiod Tax
Allocation praktis tidak pernah dijumpai, sehingga pembahasan lebih dititik
beratkan pada masalah Interperiod Tax Allocation.
D.
Pajak Tangguhan
Pajak tangguhan pada
prinsipnya merupakan dampak PPh di masa yang akan datang yang disebabkan oleh
perbedaan temporer (waktu) antara perlakuan akuntansi dan perpajakan serta
kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan di masa datang (tax loss carry
forward) yang perlu disajikan dalam laporan keuangan dalam suatu periode
tertentu.
Dampak PPh di masa yang
akan datang yang perlu diakui, dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam
laporan keuangan, baik neraca maupun laba rugi. Suatu perusahaan bisa saja
membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang
pajak yang lebih besar di masa datang. Atau sebaliknya, bisa saja perusahaan
membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi sebenarnya memiliki potensi hutang
pajak yang lebih kecil di masa datang. Bila dampak pajak di masa datang
tersebut tidak tersaji dalam neraca dan laba rugi, maka laporan keuangan bisa
saja menyesatkan pembacanya.
E. Metode Penangguhan dalam Pajak Penghasilan
a. Deferred
Method (Metode Penangguhan)
Metode
ini menggunakan pendekatan laba rugi (Income Statement Approach) yang memandang
perbedaan perlakuan antara akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang laporan
laba rugi, yaitu kapan suatu transaksi diakui dalam laporan laba rugi baik dari
segi komersial maupun fiskal. Pendekatan ini mengenal istilah perbedaan waktu
dan perbedaan permanen. Hasil hitungan dari pendekatan ini adalah pergerakan
yang akan diakui sebagai pajak tangguhan pada laporan laba rugi. Metode ini
lebih menekankan matching principle pada periode terjadinya perbedaan tersebut.
b.
Asset-Liability Method (Metode Asset dan
Kewajiban)
Metode
ini menggunakan pendekatan neraca (Balance Sheet Approach) yang menekankan pada
kegunaan laporan keuangan dalam mengevaluasi posisi keuangan dan memprediksikan
aliran kas pada masa yang akan datang. Pendekatan neraca memandang perbedaan
perlakuan akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang neraca, yaitu perbedaan
antara saldo buku menurut komersial dan dasar pengenaan pajaknya. Pendekatan
ini mengenal istilah perbedaan temporer dan perbedaan non temporer.
c.
Net-of-Tax Method (Metode Bersih dari
Pajak)
Metode
ini tidak ada pajak tangguhan yang diakui. Konsekuensi pajak atas perbedaan
temporer tidak dilaporkan secara terpisah, sebaliknya diperlakukan sebagai
penyesuaian atas nilai asset atau kewajiban tertentu dan penghasilan atau beban
yang terkait. Dalam metode ini, beban pajak yang disajikan dalam laporan laba
rugi sama dengan jumlah pajak penghasilan yang terhutang menurut SPT tahunan.
F.
Cara Menentukan Pajak Tangguhan
a.
Pengakuan (Recognition)
Standar
yang mengatur bahwa dampak PPh atas perbedaan temporer dan tax loss carry
forward (TLCF) atau kompensasi rugi harus diakui dalam laporan keuangan.
Pengakuan ini menyiratkan bahwa perusahaan pelapor akan memulihkan nilai
tercatat asset pajak tangguhan atau deferred tax asset (DTA) dan akan melunasi
nilai tercatat dalam kewajiban pajak tangguhan atau deferred tax liability
(DTL) tersebut.
b.
Pengukuran (Measurement)
Cara
menghitung jumlah yang harus dibukukan dalam buku besar perusahaan. Dalam hal
ini pajak tangguhan akan dihitung dengan menggunakan tarif yang berlaku atau
efektif akan berlaku di masa yang akan datang.
c.
Penyajian (Presentation)
Standar
yang menentukan cara penyajian di dalam laporan keuangan, baik dalam neraca
ataupun laba rugi. Asset pajak tangguhan (DTA) atau kewajiban pajak tangguhan
(DTL) harus disajikan secara terpisah dari asset atau kewajiban pajak kini dan
disajikan dalam unsur non current dalam neraca.
d.
Pengungkapan (Disclosure)
Berkaitan
dengan standar informasi yang perlu diungkapkan dalam catatan atas laporan
keuangan.Misalnya unsur-unsur utama perbedaan temporer yang menimbulkan pajak tangguhan,
unsur-unsur yang dibebankan langsung ke laba ditahan, perubahan tarif pajak dan
sebagainya.
G.
Pengakuan pada Pajak Tangguhan
1. Untuk Kewajiban Pajak Tangguhan
(Deferred Tax Liabilities)
Pengakuan
asset atau kewajiban Pajak Tangguhan didasarkan fakta bahwa adanya kemungkinan
pemulihan asset atau pelunasan kewajiban yang mengakibatkan pembayaran pajak
periode mendatang menjadi lebih kecil atau lebih besar. Tetapi, apabila akan
terjadi pembayaran pajak yang lebih besar dimasa yang akan datang, maka berdasarkan
standar akuntansi keuangan, harus diakui sebagai suatu kewajiban.
Jurnal
Pengakuan Pajak Tangguhannya:
Deferred Tax Expense Rp. 120.000,00
(contoh)
Deferred Tax Liabilities Rp. 120.000,00
2. Untuk Asset Pajak Tangguhan (Deferred Tax Asset)
Dapat
diakui apabila ada kemungkinan pembayaran pajak yang lebih kecil pada masa yang
akan datang, maka berdasarkan standar akuntansi keuangan, harus diakui sebagai
suatu asset. Dengan kata lain apabila kemungkinan pembayaran pajak dimasa yang
akan datang lebih kecil akan dicatat sebagai asset pajak tangguhan.
Jurnal
Pengakuan Pajak Tangguhannya:
Deferred Tax Asset Rp. 120.000,00
(contoh)
Deferred Tax
Income Rp.
120.000,00